http://kisahmuslim.com/imam-abu-hanifah-an-numan-bukti-akan-kepandaian-dan-kecerdasan/
Imam Abu Hanifah An-Nu’man, Bukti Akan Kepandaian dan Kecerdasan
Imam Abu Hanifah An-Nu’man, Bukti Akan Kepandaian dan Kecerdasan
Suatu ketika Abu Hanifah
menjumpai Imam Malik yang tengah duduk bersama beberapa sahabatnya. Setelah Abu
Hanifah keluar, Imam Malik menoleh kepada mereka dan berkata, “Tahukah kalian,
siapa dia?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau berkata, “Dialah Nu’man bin
Tsabit, yang seandainya berkata bahwa tiang masjid itu emas, niscaya
perkataannya menjadi dipakai orang sebagai argumen.”
Tidaklah dikatakan berlebihan apa yang dikatakan Imam Malik dalam menggambarkan diri Abu Hanifah, sebab beliau memang memiliki kekuatan dalam berhujjah, cepat daya tangkapnya, cerdas, dan tajam wawasannya.
Tidaklah dikatakan berlebihan apa yang dikatakan Imam Malik dalam menggambarkan diri Abu Hanifah, sebab beliau memang memiliki kekuatan dalam berhujjah, cepat daya tangkapnya, cerdas, dan tajam wawasannya.
Buku sejarah dan kisah sangat banyak
menggambarkan kekuatan argumentasinya dalam menghadapi lawan bicaranya ketika
adu argumen, begitu pula ketika menghadapi penentang akidah. Semuanya
membuktikan kebenaran pujian Imam Malik: “Seandainya dia mengatakan bahwa tanah
di tanganmu itu emas, maka engkau akan membenarkannya karena alasannya yang
tepat dan mengikuti pernyataannya.” Bagaimana pula jika yang dipertahankan
adalah kebenaran, dan adu argumentasi untuk membela kebenaran?”
Sebagai bukti, ada seorang laki-laki
dari Kufah yang disesatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia termasuk
orang terpandang dan didengar omongannya. Laki-laki itu menuduh di hadapan
orang-orang bahwa Utsman bin Affan asalnya adalah Yahudi, lalu menganut Yahudi
lagi setelah Islamnya.
Demi mendengar berita tersebut, Abu
Hanifah bergegas menjumpainya dan berkata, “Aku datang kepadamu untuk meminang
putrimu yang bernama fulanah untuk seorang sahabatku.” Dia berkata, “Selamat
atas kedatangan Anda. Orang seperti Anda tidak layak ditolak keperluannya wahai
Abu Hanifah. Akan tetapi, siapakah peminang itu?” Beliau menjawab, “Seorang
yang terkemuka dan terhitung kaya di tengah kaumnya, dermawan dan ringan
tangan, hafal Kitabullah, menghabiskan malam dengan satu rukuk dan sering
menangis karena takwa dan takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Laki-laki itu berkata, “Wah.. wah..,
cukup wahai Abu Hanifah, sebagian saja dari yang Anda sebutkan itu sudah cukup
baginya untuk meminang seorang putri Amirul Mukminin.” Abu Hanifah berkata,
“Hanya saja ada satu hal yang perlu Anda pertimbangkan.” Dia bertanya, “Apakah
itu?” Abu Hanifah berkata, “Dia seorang Yahudi.” Mendengar hal itu, orang itu
terperanjat dan bertanya-tanya: “Yahudi?! Apakah Anda ingin saya menikahkan
putri saya dengan seorang Yahudi wahai Abu Hanifah? Demi Allah aku tidak akan
menikahkan putriku dengannya, walaupun dia memiliki segalanya dari yang awal
sampai yang akhir.”
Lalu Abu Hanifah berkata, “Engkau
menolak menikahkan putrimu dengan seorang Yahudi dan engkau mengingkarinya
dengan keras, tapi kau sebarkan berita kepada orang-orang bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menikahkan kedua putrinya dengan Yahudi (yakni
Utsman)?”
Seketika orang itu gemetaran
tubuhnya lalu berkata, “Astaghfirullah, Aku memohon ampun kepada Allah atas
kata-kata buruk yang aku ucapkan. Aku bertaubat dari tuduhan busuk yang saya
lontarkan.”
Contoh lain, ada seorang Khawarij
bernama adh-Dhahak asy-Syari pernah datang menemui Abu Hanifah dan berkata,
Adh-Dhahak: “Wahai Abu Hanifah,
bertaubatlah Anda.”
Abu Hanifah: “Bertaubat dari apa?”
Ad-Dhahak: “Dari pendapat Anda yang
membenarkan diadakannya tahkim antara Ali dan Mu’awiyah.
Abu Hanifah: “Maukah Anda berdiskusi
dengan saya dalam persoalan ini?”
Adh-Dhahak: “Baiklah, saya
bersedia.”
Abu Hanifah: “Bila kita nanti
berselisih paham, siapa yang akan menjadi hakim di antara kita?”
Adh-Dhahak: “Pilihlah sesuka Anda.”
Abu Hanifah menoleh kepada seorang
Khawarij lain yang menyertai orang itu lalu berkata:
Abu Hanifah: “Engkau menjadi hakim
di antara kami.” (dan kepada orang pertama beliau bertanya:) “Saya rela kawanmu
menjadi hakim, apakah engkau juga rela?”
Adh-Dhahak: “Ya saya rela.”
Abu Hanifah: “Bagaimana ini, engkau
menerima tahkim atas apa yang terjadi di antara saya dan kamu, tapi menolak dua
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertahkim?”
Maka orang itu pun mati kutu dan tak
sanggup berbicara sepatah kata pun.
Contoh yang lain lagi, bahwa Jahm
bin Sofwan, pentolan kelompok Jahmiyah yang sesat, penyebar bid’ah dan ajaran
sesat di bumi pernah mendatangi Abu Hanifah
seraya berkata,
Jahm: “Saya datang untuk
membicarakan beberapa hal yang sudah saya persiapkan.”
Abu Hanifah: “Berdialog denganmu
adalah cela dan larut dengan apa yang engkau bicarakan berarti neraka yang
menyala-nyala.”
Jahm: “Bagaimana bisa Anda memvonis
saya demikian, padahal Anda belum pernah bertemu denganku sebelumnya dan belum
mendengar pendapat-pendapat saya?”
Abu Hanifah: “Telah sampai kepada
saya berita-berita tentangmu yang telah berpendapat dengan pendapat yang tidak
layak keluar dari mulut ahli kiblat (muslim).”
Jahm: “Anda menghakimi saya secara
sepihak?”
Abu Hanifah: “Orang-orang umum dan
khusus sudah mengetahui perihal Anda, sehingga boleh bagiku menghukumi dengan
sesuatu yang telah mutawatir kabarnya tentang Anda.
Jahm: “Saya tidak ingin membicarakan
atau menanyakan apa-apa kecuali tentang keimanan.”
Abu Hanifah: “Apakah hingga saat ini
kamu belum tahu juga tentang masalah itu hingga perlu menanyakannya kepada
saya?”
Jahm: “Saya memang sudah paham,
namun saya meragukan salah satu bagiannya.”
Abu Hanifah: “Keraguan dalam
keimanan dalam kufur.”
Jahm: “Anda tidak boleh menuduh saya
kufur sebelum mendengar tentang apa yang menyebabkan saya kufur.”
Abu Hanifah: “Sialakan bertanya!”
Jahm: “Telah sampai kepadaku tentang
seseorang yang mengenal dan mengakui Allah dalam hatinya bahwa Dia tak punya
sekutu, tak ada yang menyamai-Nya dan mengetahui sifat-sifat-Nya, lalu orang
itu mati tanpa menyatakan dengan lisannya, orang ini dihukumi mukmin atau
kafir?”
Abu Hanifah: “Dia mati dalam keadaan
kafir dan menjadi penghuni neraka bila tidak menyatakan dengan lidahnya apa
yang diketahui oleh hatinya, selagi tidak ada penghalang baginya untuk
mengatakannya.”
Jahm: “Mengapa tidak dianggap
sebagai mukmin padahal dia mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
sebenar-benarnya?”
Abu Hanifah: “Bila Anda beriman
kepada Alquran dan mau menjadikannya sebagai hujjah, maka saya akan meneruskan
bicara. Tapi jika engkau tidak beriman kepada Alquran dan tidak memakainya
sebagai hujjah, maka berarti saya sedang berbicara dengan orang yang menentang
Islam.”
Jahm: “Bahkan saya mengimani Alquran
dan menjadikannya sebagai hujjah.”
Abu Hanifah: “Sesungguhnya Allah Subhanahu
wa Ta’ala menjadikan iman atas dua sendi, yaitu dengan hati dan lisan,
bukan dengan salah satu saja darinya. Kitabullah dan hadis Rasulullah
jelas-jelas menyatakan hal itu:
“Dan apabila mereka mendengarkan
apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka
mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Alquran) yang telah mereka ketahui
(dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah
beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas
kebenaran Alquran dan kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam). Mengapa
kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada
kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam
golongan orang-orang yang shalih?’ Maka Allah memberi mereka pahala terhadap
perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi)
orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya).” (QS.
Al-Maidah: 83-85)
Karena mereka mengetahui kebenaran
dalam hati lalu menyatakannya dengan lisan, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala
memasukkannya ke dalam surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang
mengalir karena pernyataan keimanannya itu. Allah Ta’ala juga berfirman:
“Katakanlah (hai orang-orang
mukmin): ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan
apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qb dan anak cucunya, dan
apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada
nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka
dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’.” (QS. Al-Baqarah: 136)
Allah menyuruh mereka untuk
mengucapkan dengan lisan, tidak hanya cukup dengan ma’rifah dan ilmu saja.
Begitu pula dengan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Ucapkanlah, Laa ilaaha ilallah,
niscaya kalian akan beruntung.”
Maka belumlah dikatakan beruntung
bila hanya sekedar mengenal dan tidak dikukuhkan dengan kata-kata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Akan dikeluarkan dari neraka
barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallah..”
Dan Nabi tidak mengatakan, “Akan
dikeluarkan dari api neraka barangsiapa yang menganal Allah Subhanahu wa
Ta’ala,”
Kalau saja pernyataan lisan tidak
diperlukand an cukup hanya dengan sekedar pengetahuan, niscaya iblis juga
termasuk mukmin, sebab dia mengenal Rabbnya, tahu bahwa Allahlah yang
menciptakan dirinya, Dia pula yang menghidupkan dan mematikannya, juga yang
akan membangkitkannya, tahu bahwa Allah yang menyesatkannya. Allah Ta’ala
berfirman tatkala menirukan perkataannya:
“Saya lebih baik daripadanya:
“Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS.
Al-A’raf: 12)
Kemudian:
“Berkata iblis: ‘Ya tuhanku,
(kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia)
dibangkitkan’.” (QS. Al-Hijr: 36)
Juga firman Allah Ta’ala:
“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau
telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi)
mereka dari jalan Engkau yang lurus’.” (QS. Al-A’raf: 16)
Seandainya apa yang engkau katakan
itu benar, niscaya banyaklah orang-orang kafir yang dianggap beriman karena
mengetahui Rabbnya walaupun mereka ingkar dengan lisannya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan mereka mengingkarinya karena
kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka maykini (kebenaran)nya.”
(QS. An-Naml: 140
Padahal mereka tidak disebut mukmin
meski meyakininya, justru dianggap kafir karena kepalsuan lisan mereka.
Abu Hanifah terus menyerang Jahm bin
Shafwan dengan hujjah-hujjah yang kuat, adakalanya dengan Alquran dan
adakalanya dengan hadis-hadis. Akhirnya orang itu kewalahan dan tampaklah raut
kehinaan dalam wajahnya. Dia enyah dari hadapan Abu Hanifah sambil berkata,
“Anda telah mengingatkan sesuatu yang saya lupakan, saya akan kembali kepada
Anda.” Lalu dia pergi untuk tidak kembali.
Kasus yang lain, sewaktu Abu Hanifah
berjumpa dengan orang-orang atheis yang mengingkari eksistensi al-Khaliq.
Beliau bercerita kepada mereka:
“Bagaimana pendapat kalian, jika ada
sebuah kapal diberi muatan barang-barang, penuh dengan barang-barang dan beban.
Kapal tersebut mengarungi samuedera. Gelombangnya kecil, anginnya tenang. Akan
tetapi setelah kapal sampai di tengah tiba-tiba terjadi badai besar. Anehnya
kapal terus berlayar dengan tenang sehingga tiba di tujuan sesuai renana tanpa
goncangan dan berbelok arah, padahal tak ada nahkoda yang mengemudikan dan
mengendalikan jalannya kapal. Masuk akalkah cerita ini?”
Mereka berkata, “Tidak mungkin. Itu
adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal, bahkan oleh khayal
sekalipun, wahai Syaikh.” Lalu Abu Hanifah berkata, “Subhanallah, kalian
mengingkari adanya kapal yang berlayar sendiri tanpa pengemudi, namun kalian
mengakui bahwa alam semesta yang terdiri dari lautan yang membentang, langit
yang penuh bintang, dan benda-benda langit serta burung yang beterbangan tanpa
adanya Pencipta yang sempurna penciptaan-Nya dan mengaturnya dengan cermat?!
Celakalah kalian, lantas apa yang membuat kalian ingkar kepada Allah?”
Begitulah, Abu Hanifah
menghabiskan seluruh hidupnya untuk menyebarkan dienullah dengan kekuatan
argumen yang dianugerahkan al-Khaliq kepadanya. Beliau menghadapi para
penentang dengan argumentasi yang tepat.
Tatkala ajal menjemputnya, ditemukan
wasiat beliau yang berpesan agar dikebumikan di tanah yang baik, jauh dari
segala tempat yang berstatus syubhat (tidak jelas) atau hasil ghashab.
Ketika wasiat tersebut terdengar
oleh Amirul Mukminin al-Manshur beliau berkata, “Siapa lagi orang yang lebih
bersih dari Abu Hanifah dalam hidup dan matinya.”
Di samping itu, beliau juga berpesan
agar jenazahnya kelak dimandikan oleh al-Hasan bin Amarah. Setelah melaksanakan
pesannya, Ibnu Amarah berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
merahmati Anda wahai Abu Hanifah, semoga Allah mengampuni dosa-dosa Anda karena
jasa-jasa yang telah Anda kerjakan, sungguh Anda tidak pernah putus shaum
selama tiga puluh tahun, tidak berbantal ketika tidur selama empat puluh tahun,
dan kepergian Anda akan membuat lesu para fuqaha setelah Anda.”
Sumber: Mereka adalah Para
Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009
Artikel www.KisahMuslim.com